KONTRAVERSI SEKITAR MEMPERINGATI MAULUD NABI
Peringatan Maulud nabi Muhamad saw yang digelar setiap tanggal 12 Rabiul Awal ini,pertama kali diperkenalkan oleh penguasa Dinasti Fatimiyah ( 909 - 1017 ).
Kala itu,peringatan nabi masih dalam taraf ujicoba.
Pada dekade berikutnya,kegiatan itu berubah menjadi perayaan besar yang diselenggarakan hampir disetiap kawasan islam. Pelopornya Abu Sa'id Al-Kokburi Gubernur wilayah Irbil pada masa pemerintahan Shalahudin Al-Ayubi. Tujuan utamanya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam yang sedang menghadapi ancaman serangan tentara Salib. Gagasan Al-Kokburi sangat efektif. Dengan memutar kembali sejarah perjuangan Rasulullah,semangat mereka bangkit sehingga mampu memukul mundur pasukan Salib.
Awalnya,kegiatan ini berjalan mulus. Isinya tak lebih dari menghidupkan kembali segala kenangan tersebut,yang berarti memperbahrui kualitas iman dan kencintaan kepada Rasulullah.
Namun,pada dekade selanjutnya ada yang menyisipkan kegiatan hiburan dan melibatkan musisi,penyanyi serta berbagai aktivitas lain yang tidak jelas dasar hukumnya. Akibatnya muncul kontraversi dikalangan Ulama.
Al-Suyuthi,seorang ulama dari Madzhab Syafi'i mendukung perayaan ini. Dalam kitabnya Husnul Al-Maqshid fi' amal Al'Maulid,ia mengatakan bahwa kegiatan seperti ini mengandung kebaikan karena mengagungkan kelahiran Nabi saw. Pendapat Al-Suyuthi ini diamini oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dan Abu Samah. Menurut mereka berdua fuqaha ini, peringatan Maulud Nabi saw merupakan perbuatan baru yang terpuji ( min ahsani ma ubtudi'a ). Syaratnya asal disertai dengan kegiatan kemasyarakatan yang baik seperti shadaqah,infaq,serta kegiatan lainnya yang bernilai ibadah.
Namun,ada juga yang menolak perayaan Maulud ini,antara lain Al-Fakihin. Secara ekplisit dalam kitabnya Al-Maurid fi Kalam Al-Maulid,pengikut madzhab Maliki ini menegaskan,tidak ada landasan yang bisa dijadikan dalil untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Pendapat ini dilandasi Hadits Rasulullah "setiap yang baru ( yang tidak terdapat di Al-Qur'an dan Al-Sunnah ) adalah bid'ah,setiap bid'ah itu sesat, setiap yang sesat berada dalam neraka. Ibnu Al-Hajj mendukung pendapat ini. Dalam kitabnya Al-Madkal, ia mengecam kegiatan ini, menurutnya sering melibatkan aktivitas hiburan, dan tidak lagi berfungsi sebagai media untuk mengagungkan Rasulullah, tetapi menjadi media untuk melakukan perbuatan maksiat...
Kala itu,peringatan nabi masih dalam taraf ujicoba.
Pada dekade berikutnya,kegiatan itu berubah menjadi perayaan besar yang diselenggarakan hampir disetiap kawasan islam. Pelopornya Abu Sa'id Al-Kokburi Gubernur wilayah Irbil pada masa pemerintahan Shalahudin Al-Ayubi. Tujuan utamanya untuk memperkokoh semangat keagamaan umat Islam yang sedang menghadapi ancaman serangan tentara Salib. Gagasan Al-Kokburi sangat efektif. Dengan memutar kembali sejarah perjuangan Rasulullah,semangat mereka bangkit sehingga mampu memukul mundur pasukan Salib.
Awalnya,kegiatan ini berjalan mulus. Isinya tak lebih dari menghidupkan kembali segala kenangan tersebut,yang berarti memperbahrui kualitas iman dan kencintaan kepada Rasulullah.
Namun,pada dekade selanjutnya ada yang menyisipkan kegiatan hiburan dan melibatkan musisi,penyanyi serta berbagai aktivitas lain yang tidak jelas dasar hukumnya. Akibatnya muncul kontraversi dikalangan Ulama.
Al-Suyuthi,seorang ulama dari Madzhab Syafi'i mendukung perayaan ini. Dalam kitabnya Husnul Al-Maqshid fi' amal Al'Maulid,ia mengatakan bahwa kegiatan seperti ini mengandung kebaikan karena mengagungkan kelahiran Nabi saw. Pendapat Al-Suyuthi ini diamini oleh Ibnu Hajar Al-Haitami dan Abu Samah. Menurut mereka berdua fuqaha ini, peringatan Maulud Nabi saw merupakan perbuatan baru yang terpuji ( min ahsani ma ubtudi'a ). Syaratnya asal disertai dengan kegiatan kemasyarakatan yang baik seperti shadaqah,infaq,serta kegiatan lainnya yang bernilai ibadah.
Namun,ada juga yang menolak perayaan Maulud ini,antara lain Al-Fakihin. Secara ekplisit dalam kitabnya Al-Maurid fi Kalam Al-Maulid,pengikut madzhab Maliki ini menegaskan,tidak ada landasan yang bisa dijadikan dalil untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Pendapat ini dilandasi Hadits Rasulullah "setiap yang baru ( yang tidak terdapat di Al-Qur'an dan Al-Sunnah ) adalah bid'ah,setiap bid'ah itu sesat, setiap yang sesat berada dalam neraka. Ibnu Al-Hajj mendukung pendapat ini. Dalam kitabnya Al-Madkal, ia mengecam kegiatan ini, menurutnya sering melibatkan aktivitas hiburan, dan tidak lagi berfungsi sebagai media untuk mengagungkan Rasulullah, tetapi menjadi media untuk melakukan perbuatan maksiat...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar